Setiap organisasi memiliki budaya dan pengaruh
yang signifikan terhadap sikap dan perilaku anggota. Seringkali budaya dalam
suatu organisasi berkembang dan sengaja dikembangkan dengan kuat, sehingga
dalam kondisi demikian, setiap anggota mengetahui dengan baik tujuan organisasi
yang akan dicapainya. Dan setiap karyawan dimotivasi untuk mencapai tujuan
tersebut dan pada akhirnya budaya organisasi memiliki kekuatan untuk
mempengaruhi kehidupan organisasi dan produktivitas kerja. Budaya organisasi berpengaruh terhadap motivasi
dan kepuasan kerja serta kinerja pada karyawan. Budaya organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap motivasi
kerja. Motivasi kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja.
Perkembangan
jaman yang didorong oleh evolusi alam, pertumbuhan manusia dalam aspek fisik
maupun psikologis, serta perkembangan kemajuan teknologi telah membawa banyak
perubahan dalam seluruh aspek kehidupan manusia, baik dalam kapasitasnya
sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia
yang turut menjadi bagian dari organisasi baik formal maupun non formal, telah
mengalami berbagai tantangan dalam berperilaku dan berasimilasi dalam
lingkungan atau yang kita sering istilahkan dengan budaya.
Budaya organisasi menjadi sangat penting
ketika peranan manusia sebagai salah satu sumber daya utama bagi sebuah
organisasi atau perusahaan akan menentukan keberhasilan pencapaian tujuan
organisasi atau perusahaan. Selain itu masalah utama yang
dihadapi oleh sebuah organisasi adalah rendahnya kinerja sumber daya manusia.
Persoalan yang ada adalah bagaimana dapat menciptakan sumber daya manusia yang
dapat menghasilkan kinerja yang optimal sehingga tujuan organisasi dapat tercapai.
Produktivitas kerja merupakan tuntutan utama bagi perusahaan agar kelangsungan
dan keberlanjutan atau operasionalnya dapat terjamin. Produktivitas dan kinerja
sumber daya manusia dapat memberikan kontribusi kepada organisasi secara makro
maupun mikro. Banyak hal yang dapat mempengaruhi produktivitas kerja, untuk itu
organisasi harus berusaha menjamin agar faktor-faktor yang berkaitan dengan
produktivitas tenaga kerja dapat dipenuhi secara maksimal. Kualitas sumber daya
manusia akan terpenuhi apabila motivasi sebagai unsur yang berpengaruh terhadap
kinerja dapat terbentuk dengan maksimal.
Banyak hal yang dapat mempengaruhi
produktivitas kerja, sehingga perusahaan harus menjaga faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap kinerja dapat terpenuhi secara maksimal. Persoalan kinerja
akan dapat terlaksana dan terpenuhi apabila beberapa variabel yang mempengarhui
mendukung sekali. Variabel yang dimaksud adalah Budaya dan Motivasi.
Menurut Kesmono (2005), budaya organisasi
merupakan hal yang penting bagi suatu organisasi atau perusahaan, karena akan
selalu berhubungan dengan kehidupan yang ada dalam perusahaan. Budaya
organisasi merupakan falsafah, ideologi, nilai-nilai, anggapan, keyakinan,
harapan, sikap dan norma-norma yang dimiliki secara bersama serta mengikat
dalam suatu komunitas tertentu. Secara spesifik budaya dalam organisasi akan
ditentukan oleh kondisi team work, leaders dan characteristic of organization
serta administration process yang berlaku. Mengapa budaya organisasi
penting, karena merupakan kebiasaan-kebiasaan yang terjadi dalam hirarki
organisasi yang mewakili norma-norma perilaku yang diikuti oleh para anggota
organisasi. Budaya yang produktif adalah budaya yang dapat menjadikan
organisasi menjadi kuat dan tujuan perusahaan dapat terakomodasi.
Faktor lain yang berperan dalam menjadikan
karyawan lebih berperilaku terarah apabila ada unsur-unsur positif dalam
dirinya masing-masing. Pada umumnya dalam diri seorang pekerja ada dua hal yang
penting dan dapat memberikan motivasi
atau dorongan yaitu masalah kompensasi
dan Expectancy. Khususnya masalah kompensasi sebagai imbal jasa dari pengusaha kepada
karyawan yang telah memberikan kontribusinya selalu menjadikan sebagai ukuran
puas atau tidaknya seseorang dalam menjalankan tugasnya atau pekerjaannya.
Demikian pula pemberian kompensasi dapat
berdampak negatif apabila dalam pelaksanaannya tidak adil dan tidak layak yang
pada akhirnya menimbulkan ketidakpuasan. Maka dalam pemberian kompensasi harus adil dan
proporsional.
Mengenai Expectancy, setiap orang
akan memiliki harapan-harapan yang akan diperoleh dalam melakukan kegiatannya,
oleh karena itu tanpa adanya nilai harapan yang dimiliki, seseorang tidak akan
melakukan usaha-usaha untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam expectancy theory dinyatakan
bahwa orang termotivasi bereaksi dalam kehidupannya, berkeinginan menghasilkan
kombinasi dari hasil-hasil yang diharapkan. Sehubungan dengan hal tersebut maka
nampak jelas bahwa harapan dapat
mendorong seseorang untuk memenuhi kebutuhannya, hal ini wajar karena manusia
selalu mempunyai kebutuhan yang
berbeda-beda menurut status sosialnya di masyarakat, sehingga unsur pembentuk harapan-nya berbeda-beda pula.
Behavior merupakan
bagian dari budaya yang berkaitan dengan kinerja, dengan berperilaku seseorang
akan dapat memperoleh apa yang dikehendaki dan apa yang diharapkan. Jadi behavior
merupakan tindakan yang nyata dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh apa
yang diharapkan. Perilaku individu yang berada dalam organisasi atau perusahaan
sangat mempengaruhi organisasi baik secara langsung maupun tidak langsung,
sebagai akibat dari kemampuan individu yang berbeda-beda dalam menghadapi tugas
atau aktivitasnya. Perilaku akan timbul atau muncul akibat adanya pengaruh atau
rangsangan dari lingkungan yang ada (baik internal maupun eksternal) begitu
pula individu berperilaku karena adanya dorongan oleh serangkaian kebutuhan.
Setiap manusia atau seseorang selalu mempertimbangkan perilakunya untuk
mencapai segala apa yang diinginkannya tanpa menimbulkan konflik baik secara
individu maupun kelompok, sehingga kinerja dapat tercapai sesuai dengan yang
diinginkan.
Budaya organisasi dan sejarahnya
Perkembangan
jaman yang didorong oleh evolusi alam, pertumbuhan manusia dalam aspek fisik
maupun psikologis, serta perkembangan kemajuan teknologi telah membawa banyak
perubahan dalam seluruh aspek kehidupan manusia, baik dalam kapasitasnya
sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia
yang turut menjadi bagian dari organisasi baik formal maupun non formal, telah
mengalami berbagai tantangan dalam berperilaku dan berasimilasi dalam
lingkungan atau yang kita sering istilahkan dengan budaya.
Budaya
organisasi menjadi sangat penting ketika peranan manusia sebagai salah satu
sumber daya utama bagi sebuah organisasi atau perusahaan akan menentukan
keberhasilan pencapaian tujuan organisasi atau perusahaan. Dan sudah sejak lama
para ahli dan pemikir di bidang manajemen sumber daya manusia mencari teori dan
falsafah yang dapat menggambarkan secara komprehensif mengenai budaya organisasi
dan pengaruhnya dalam aspek kehidupan manusia dan organisasi.
Dalam memandang budaya
organisasi sebagai variabel, ada satu perspektif bahwa budaya
adalah sesuatu yang dimiliki oleh
sebuah organisasi. Budaya adalah salah satu entitas yang menambah nilai
organisasi
secara keseluruhan. Budaya dapat dibentuk dan diubah
tergantung pada kepemimpinan dan
anggota. Perspektif ini memandang budaya yang kuat akan menjadi daya tarik untuk semua
anggotanya.
Ada beberapa metode maupun teori hasil
pemikiran dan penelitian yang mengembangkan perspektif budaya organisasi ini
yang bervariasi dari masa ke masa. Namun tulisan ini akan menguraikan salah
satu teori diantaranya, yaitu Hofstede
Cultural Dimensions Theory atau Teori Dimensi Budaya yang dikembangkan oleh
Hofstede.
Teori
Dimensi Budaya Hofstede
Teori dimensi budaya Hofstede
adalah suatu kerangka kerja untuk
komunikasi lintas budaya yang
dikembangkan oleh Geert Hofstede.
Teori ini
menggambarkan efek dari budaya masyarakat pada nilai-nilai anggotanya, dan bagaimana nilai-nilai ini berhubungan dengan perilaku, menggunakan struktur yang berasal dari analisis faktor. Teori ini telah digunakan secara luas di beberapa bidang sebagai
paradigma untuk penelitian, khususnya dalam psikologi lintas-budaya,
manajemen internasional, dan komunikasi
lintas budaya.
Hofstede mendefinisikan budaya sebagai "pemrograman
pikiran secara kolektif yang
membedakan antara anggota satu kelompok dengan anggota dari kelompok lain " (Hofstede et al , 2010 : .6). Investigasi budaya merupakan upaya untuk menangkap kecenderungan umum antara sekelompok besar manusia pada tingkat yang sangat umum. Ada berbagai tingkat budaya (nasional, regional, etnis, agama, jenis kelamin, kelas sosial atau tingkat organisasi yang lebih besar). Adapun empat dimensi utama menurut Hofstede adalah:
membedakan antara anggota satu kelompok dengan anggota dari kelompok lain " (Hofstede et al , 2010 : .6). Investigasi budaya merupakan upaya untuk menangkap kecenderungan umum antara sekelompok besar manusia pada tingkat yang sangat umum. Ada berbagai tingkat budaya (nasional, regional, etnis, agama, jenis kelamin, kelas sosial atau tingkat organisasi yang lebih besar). Adapun empat dimensi utama menurut Hofstede adalah:
·
Power Distance Index (PDI): sejauh mana anggota dalam organisasi dan lembaga
yang kurang kuat seperti keluarga
menerima dan mengharapkan kekuatan yang
didistribusikan tidak merata.
·
Individualisme (IDV) :
sejauh
mana individu diintegrasikan kedalam kelompok.
·
Maskulinitas (MAS) : mengacu pada pembagian peran dan
nilai-nilai antara jenis kelamin. Para wanita
di negara-negara feminin memiliki model yang sama, peduli nilai-nilai sebagai manusia, sedangkan di
negara-negara maskulin mereka agak tegas
dan kompetitif, tapi negara-negara feminis tidak sebanyak yang maskulin, sehingga
negara-negara ini menunjukkan kesenjangan
antara nilai-nilai laki-laki dan nilai-nilai perempuan.
·
Uncertainty Avoidence
Index (UAI) : toleransi masyarakat
untuk ketidakpastian dan ambiguitas.
·
Long Term Orientation (LTO) : awalnya disebut "dinamika Konghucu". Masyarakat yang
berorientasi jangka panjang lebih
mementingkan masa depan. Mereka
mendorong nilai-nilai pragmatis
berorientasi pada penghargaan, termasuk ketekunan, hemat
dan kapasitas untuk adaptasi. Dalam masyarakat yang berorientasi jangka pendek, nilai-nilai yang dipromosikan berkaitan dengan masa lalu dan masa kini, termasuk kemantapan, menghormati
tradisi, pelestarian kehidupan seseorang, balasan
dan memenuhi kewajiban sosial.
·
Indulgence Versus
Restraint
(IVR) : Sejauh mana anggota masyarakat mencoba untuk mengendalikan keinginan dan dorongan mereka. Sedangkan
masyarakat memanjakan diri untuk memiliki kecenderungan kepuasan
relatif bebas yang memungkinkan dari keinginan dasar manusia dan alam yang terkait dengan menikmati hidup dan bersenang-senang, menahan masyarakat dari memiliki keyakinan
bahwa kesenangan tersebut perlu diatasi dan diatur oleh norma-norma yang ketat.
Sejarah
Teori atau model dimensi budaya ini dikembangakan
oleh Gerard Hendrik (Geert) Hofstede, lahir pada 2 Oktober 1928 di Haarlem,
seorang psikolog sosial berkebangsaan Belanda. Mengawali karir sebagai seorang
karyawan di IBM, dan Professor Emeritus of Organizational Anthropology and
International Management di Universitas Maastricht Belanda, dikenal sebagai
pelopor penelitian Lintas Budaya kelompok dan organisasi.
Pada tahun 1965, Geert Hofstede mendirikan departemen penelitian personil IBM Eropa
(yang ia kelola sampai tahun 1971). Antara
tahun 1967 dan
1973, dia melakukan studi survei besar mengenai perbedaan nilai-nilai
nasional antar anak perusahaan di seluruh dunia perusahaan multinasional ini. Dia membandingkan jawaban dari 117.000 sampel karyawan IBM yang cocok pada survei sikap yang sama di negara yang berbeda.
Dia pertama kali memfokuskan penelitiannya pada 40 negara terbesar, dan
kemudian diperluas ke 50 negara dan 3 wilayah. Analisis awal ini mengidentifikasi perbedaan
sistematis dalam budaya nasional pada empat dimensi utama yaitu ; jarak kekuasaan (PDI) , individualisme (IDV),
penghindaran ketidakpastian (UAI) dan maskulinitas (MAS). Menurut Hofstede teori dimensi ini menganggap bahwa empat
wilayah masalah antropologis
membedakan penanganan pada masyarakat yang berbeda
dalam hal:
cara mengatasi ketimpangan, cara mengatasi ketidakpastian, hubungan individu
dengan dirinya atau kelompok utamanya, dan
implikasi emosional akbiat terlahir sebagai seorang gadis atau sebagai anak laki-laki.
Pada tahun 1980 ia menerbitkan Culture’s Consequences, sebuah buku yang menggabungkan analisis statistik dari
penelitian survei dengan pengalaman pribadinya.
Dalam rangka untuk
mengkonfirmasi hasil awal dari studi IBM dan untuk memperluasnya menjadi berbagai populasi, enam
penelitian lintas-nasional selanjutnya telah berhasil dilakukan antara tahun
1990 dan 2002. Meliputi antara 14 sampai 28 negara, termasuk sampel pilot
maskapai penerbangan komersial, mahasiswa, manajer layanan sipil, konsumen kelas atas dan elit. Penelitian gabungan menciptakan skor nilai pada empat dimensi
untuk total 76 negara dan wilayah.
Pada tahun 1991, Michael Harris
Bond dan rekan melakukan penelitian di kalangan siswa di 23 negara, dengan
menggunakan instrumen survei yang
dikembangkan karyawan dan manajer Chinese. Hasil dari studi ini mendorong Hofstede menambahkan dimensi kelima baru untuk modelnya yaitu orientasi jangka panjang atau Long Term
Orientation (LTO)
yang pada awalnya disebut dinamika
Konghucu. Pada tahun 2010, nilai untuk dimensi ini telah diperluas untuk 93 negara berkat penelitian Michael Minkov yang
menggunakan Survey
Nilai-nilai Dunia
terbaru. Akhirnya, Analisis Nilai-nilai Dunia Minkov itu yang berasal dari data Survei 93 sampel yang
mewakili populasi nasional, juga menyebabkan Geert
Hofstede untuk mengidentifikasi dimensi keenam terakhir yaitu indulgence versus
restraint atau mengumbar dibandingkan menahan
diri.
Aplikasi Teori Dimensi Budaya
Dalam interaksi kehidupan masayarkat sosial, budaya lebih sering menjadi sumber konflik daripada
sinergi. Perbedaan budaya adalah potensi
konflik yang besar dan sering menimbulkan bencana sosial, meskipun banyak
juga bukti bahwa
kelompok-kelompok yang berbeda satu sama lain dapat harmonis. Kita cenderung percaya bahwa jauh di dalam hati nurani semua orang adalah memiliki sifat manusiawi yang relatif sama . Bahkan, pada umumnya setiap
bangsa belum tentu
menyadari budaya bangsa lain, suatu masyarakat cenderung untuk meminimalkan perbedaan budaya .
Hal ini menyebabkan
kesalahpahaman dan salah tafsir antara orang-orang dari berbagai negara . Alih-alih fenomena konvergensi yang diharapkan dengan ketersediaan teknologi informasi, perbedaan budaya masih terlihat menonjol hari ini dan keragaman
cenderung meningkat seiring dengan
kemajuan peradaban manusia. Maka untuk dapat memiliki hubungan
lintas budaya yang saling
menghormati, harus menyadari perbedaan-perbedaan budaya. Dengan model ini, Geert Hofstede menjelaskan perbedaan-perbedaan ini. Teori ini dapat digunakan untuk memberikan gambaran umum dan
pemahaman budaya lain, apa yang diharapkan dari mereka dan bagaimana bersikap
terhadap kelompok-kelompok dari daerah
atau negara lain.
Geert Hofstede
sebagai sosiolog budaya dan antropolog
terkenal dalam konteks aplikasi untuk memahami bisnis internasional. Artikel dan makalah penelitiannya banyak mengacu pada
publikasi, dengan lebih dari 20.000 kutipan bukunya Culture’s Consequences 2003 ini: Membandingkan
Nilai, Perilaku, Lembaga dan
Organisasi Lintas
Bangsa. Enam dimensi model banyak
digunakan di berbagai bidang kehidupan sosial manusia,
dan khususnya di bidang bisnis. Bahkan, ketika datang ke bisnis, mempromosikan kepekaan budaya akan membantu orang bekerja
lebih efektif saat berinteraksi dengan
orang-orang dari negara lain, dan
akan berpartisipasi untuk
memastikan transaksi yang berhasil.
Komunikasi
Internasional
Dalam bisnis, secara umum disepakati
bahwa komunikasi adalah salah satu perhatian utama. Maka bagi para profesional yang bekerja
secara internasional
dan orang-orang
yang sehari-hari berinteraksi dengan orang lain dari berbagai negara dalam
perusahaan atau dengan perusahaan lain di luar negeri, model Hofstede memberikan wawasan ke dalam budaya lain.
Bahkan, komunikasi lintas budaya dibutuhkan untuk menyadari perbedaan budaya dan apa yang dianggap benar-benar dapat
diterima dan dialami di satu
negara, sehingga
tidak membingungkan
atau bahkan ofensif terhadap negara lain.
Semua tingkat dalam komunikasi dipengaruhi oleh dimensi budaya: verbal
(kata-kata dan bahasa itu sendiri), non verbal (bahasa tubuh, gerakan) dan etika yang harus dan tidak boleh (pakaian,
pemberian hadiah, makan, kebiasaan dan protokol). Dan ini juga berlaku untuk
komunikasi tertulis.
Negosiasi Internasional
Dalam negosiasi internasional, gaya komunikasi, harapan,
peringkat masalah dan tujuan akan berubah sesuai dengan negara asal sang negosiator. Jika diterapkan dengan benar, pemahaman
dimensi budaya seharusnya dapat meningkatkan keberhasilan dalam negosiasi dan mengurangi
frustrasi dan konflik. Misalnya, dalam negosiasi antara Cina dan Kanada,
Canadian negosiator mungkin ingin mencapai kesepakatan dan menandatangani
kontrak, sedangkan utusan Cina mungkin ingin menghabiskan lebih banyak waktu
untuk kegiatan non bisnis, pembicaraan kecil dan kenyamanan sesuai
dengan seleranya sebagai bentuk formalitas untuk membangun hubungan
pertama kali.
Ketika negosiasi di negara-negara Barat, tujuannya adalah
untuk bekerja menuju sasaran pemahaman
yang sama
dan kesepakatan dan berjabat tangan ketika kesepakatan itu tercapai, sebagai bentuk budaya pada
saat mengakhiri negosiasi dan mengawali kerjasama. Di negara Timur Tengah banyak negosiasi berlangsung yang mengarah ke perjanjian ditandai dengan berjabat tangan.
Namun, kesepakatan itu belum selesai dalam budaya Timur Tengah. Bahkan, itu adalah tanda
budaya bahwa negosiasi yang serius baru akan
dimulai.
Manajemen Internasional
Pertimbangan ini juga berlaku dalam
manajemen internasional dan kepemimpinan lintas budaya. Keputusan yang diambil
harus didasarkan pada kebiasaan dan nilai-nilai suatu negara. Ketika bekerja di perusahaan
internasional, seorang
manajer dapat
memberikan pelatihan kepada karyawan mereka dalam rangka untuk membuat mereka
sensitifitas terhadap
perbedaan budaya, mengembangkan praktek bisnis bernuansa lokal, dengan peraturan antar negara.
Dimensi Hofstede menawarkan pedoman untuk menentukan pendekatan budaya yang dapat diterima dalam organisasi perusahaan. Sebagai bagian dari domain publik,
karya Geert Hofstede digunakan oleh banyak konsultan di seluruh dunia. Tapi
hanya 3 dari mereka yang dianggap sebagai mitra dan memiliki dukungan penuh
Hofstede dengan kontak biasa.
Pemasaran Internasional
Seperti
dalam komunikasi, negosiasi dan manajemen, model enam dimensi sangat berguna juga dalam pemasaran internasional
karena mendefinisikan nilai-nilai nasional tidak hanya dalam konteks bisnis,
tetapi secara umum. Marieke de Mooij telah mempelajari penerapan temuan
Hofstede di bidang branding, strategi periklanan global dan perilaku konsumen.
Sebagai perusahaan mencoba untuk menyesuaikan produk dan layanan mereka kepada
kebiasaan lokal dan selera mereka, serta harus memahami kekhasan pasar mereka.
Misalnya,
jika ingin memasarkan mobil di negara yang
memiliki kebiasaan menghindari resiko yang tinggi, maka harus menekankan pada keselamatan mereka, sedangkan di
negara-negara lain mungkin mendasarkan iklan pada citra sosial yang mereka perlihatkan. Pemasaran ponsel adalah
contoh lain yang menarik dari penerapan model Hofstede untuk perbedaan budaya :
jika ingin mengiklankan ponsel di Cina, dapat menunjukkan pengalaman kolektif dan testimonial sedangkan di Amerika Serikat
mungkin menunjukkan bagaimana seseorang menggunakannya untuk menghemat waktu
dan uang. Berbagai aplikasi teori abstrak Hofstede begitu luas bahkan telah
diterjemahkan dalam bidang web desain di mana desain harus beradaptasi dengan selera lokal dan sesuai dengan nilai-nilai budayanya.
Teori Motivasi
Manusia dalam kehidupannya dituntut
untuk memenuhi berbagai macam keinginan dan kebutuhan, dan untuk dapat memenuhi
keinginan dan kebutuhannya haruslah melalui proses dan usaha yang maksimal. Setiap
manusia satu dengan yang lainnya memiliki kebutuhan berbeda-beda, dan cara yang
berbeda dalam memperolehnya. Dalam proses memenuhi kebutuhannya seseorang akan berperilaku
sesuai dengan dorongan yang dimiliki dan apa yang mendasari perilakunya, untuk
itu dapat dikatakan bahwa dalam diri seseorang ada kekuatan yang mengarahkan
tindakannya. Menurut Koesmono (2005), teori motivasi merupakan konsep yang
bersifat memberikan penjelasan tentang kebutuhan dan keinginan seseorang serta menunjukkan
arah tindakannya. Berbagai teori motivasi yang ada salah satunya adalah Porter
Lawler Model.
Teori
Expectancy (Pengharapan) model Porter
Lawler
Teori expectancy menyatakan
bahwa seorang individu akan memutuskan untuk berperilaku atau bertindak
dengan cara tertentu karena mereka
termotivasi untuk memilih perilaku
tertentu atas perilaku lain, karena apa yang
mereka harapkan akan hasil dari perilaku
yang dipilih. Pada dasarnya, motivasi pemilihan perilaku
ditentukan oleh keinginan hasilnya. Namun, inti
dari teori ini adalah proses kognitif tentang bagaimana individu memproses elemen
motivasi yang berbeda. Hal ini dilakukan
sebelum membuat pilihan utama. Hasilnya bukanlah satu-satunya
faktor penentu dalam membuat keputusan
tentang bagaimana berperilaku.
Teori
Expectancy adalah tentang proses mental mengenai
pilihan, atau memilih. Ini menjelaskan proses yang dialami seorang individu dalam membuat pilihan. Dalam studi perilaku organisasi, teori
harapan adalah teori motivasi yang
pertama kali
diusulkan oleh Victor Vroom dari Yale School of Management. Teori ini
menekankan kebutuhan bagi organisasi untuk menghubungkan penghargaan langsung dengan kinerja dan untuk memastikan
bahwa manfaat yang diberikan adalah penghargaan layak bagi mereka dan sesuai
dengan yang diinginkan
oleh penerimanya.
Teori Motivasi Harapan menjelaskan
proses perilaku mengapa individu memilih satu pilihan perilaku di atas yang
lain. Hal ini juga menjelaskan bagaimana mereka membuat keputusan untuk
mencapai akhir yang mereka nilai. Vroom memperkenalkan tiga variabel dalam
teori harapan yaitu valensi atau Valence (V), harapan atau Expectancy (E) dan perantaraan atau Instrumentality (I). Tiga elemen penting di balik memilih satu elemen
atas yang lain karena mereka dapat dijelaskan. Tiga komponen dari teory expectanxy adalah :
1.
Expectancy:
Effort → Performance (E→P)
2.
Instrumentality:
Performance → Outcome (P→O)
3.
Valence-
V(R)
Expectancy: Effort → Performance (E→P)
Harapan adalah keyakinan bahwa usaha seseorang atau
effort (E) akan
menghasilkan pencapaian kinerja
yang diinginkan atau
performance (P). Biasanya didasarkan pada pengalaman individu masa lalu, kepercayaan
diri (self
efficacy), dan kesulitan yang
dirasakan dari standar kinerja
atau tujuan. Faktor yang terkait dengan
persepsi Harapan individu
adalah kepercayaan diri, kesulitan
tujuan, dan kontrol. Kepercayaan diri adalah
keyakinan seseorang tentang kemampuan mereka untuk
berhasil melakukan perilaku tertentu.
Kesulitan tujuan terjadi ketika tujuan yang ditetapkan terlalu tinggi atau kinerja harapan yang
dibuat terlalu sulit yang paling
mungkin menyebabkan persepsi
harapan yang rendah. Kontrol adalah
kendali
yang
dirasakan seseorang atas kinerja. Agar harapan menjadi tinggi, orang harus percaya bahwa mereka memiliki beberapa
tingkat kontrol atas hasil yang diharapkan.
Instrumentality: Performance → Outcome (P→O)
Perantaraan adalah keyakinan bahwa seseorang
akan menerima imbalan jika ekspektasi kinerja terpenuhi.
Reward ini mungkin
datang dalam bentuk kenaikan gaji,
promosi, pengakuan atau rasa keberhasilan. Perantaraan rendah ketika bonusnya adalah sama untuk
semua kinerja yang diberikan.
Faktor
yang terkait dengan perantaraan individu untuk hasil adalah kepercayaan, kontrol dan
kebijakan. Jika individu
percaya kepada
atasan
mereka, mereka lebih cenderung percaya janji pemimpin mereka. Ketika ada kurangnya kepercayaan dalam kepemimpinan,
orang sering mencoba untuk mengontrol sistem penghargaan. Ketika orang percaya bahwa mereka memiliki semacam kontrol atas bagaimana, kapan, dan mengapa penghargaan didistribusikan, Instrumentality cenderung meningkat. Kebijakan tertulis yang diformalkan berdampak pada persepsi perantaraan individu.
Perantaraan meningkat ketika kebijakan yang diformalkan diasosiasikan dengan penghargaan
terhadap kinerja.
Valence V(R)
Valensi adalah penempatan nilai individu pada
penghargaan berdasarkan kebutuhan,
tujuan, nilai-nilai dan sumber motivasi mereka. Faktor yang
terkait dengan valensi individu
untuk hasil adalah nilai-nilai, kebutuhan, tujuan, preferensi dan sumber kekuatan motivasi preferensi
individu untuk hasil tertentu. Valensi mengacu pada nilai individu dalam menempatkan pribadi pada penghargaan.
-1 → 0 → +1.
-1 = Menghindari hasil 0
= acuh tak acuh terhadap hasil +1 = menyambut hasilnya.
Agar valensi positif, orang tersebut
harus memilih mencapai nilai itu dengan tidak mencapai hasil. Teori motivasi Harapan dapat membantu manajer memahami
bagaimana individu membuat keputusan mengenai berbagai alternatif perilaku.
Model di bawah ini menunjukkan arah motivasi, saat perilaku diberi energi: Motivational Force (MF) = Expectancy x
Instrumentality x Valence.
Ketika memutuskan di antara pilihan perilaku, individu memilih opsi dengan jumlah kekuatan motivasi (MF) terbesar.
Harapan dan perantaraan adalah sikap (kognitif) yang mewakili persepsi
individu dari kemungkinan bahwa upaya akan mengarah pada kinerja yang akan
mengarah pada hasil yang diinginkan. Persepsi ini merupakan realitas subyektif
individu, dan mungkin atau tidak mungkin menanggung kemiripan dekat dengan
probabilitas yang sebenarnya. Persepsi ini dibentuk oleh pengalaman individu (teori belajar), pengamatan
orang lain (teori belajar sosial), dan persepsi individu. Valensi berakar pada sistem nilai
individu. Salah satu contoh bagaimana
teori ini dapat diterapkan adalah terkait dengan mengevaluasi prestasi kerja
karyawan. Salah satu fungsi kinerja merupakan hubungan dari perkalian antara
motivasi dan kemampuan [ P = f ( M * A ) ]. Motivasi dapat dinyatakan sebagai [ M = f ( V * E ) ] seseorang, atau
sebagai fungsi kali valensi harapan. Dalam istilah awam, dapat dijelaskan adalah seberapa banyak yang
diinvestasikan
oleh seseorang dalam sesuatu, bersama dengan keyakinan
individu tersebut dengan bagaimana kemungkinan atau kemampuan
mencapai tujuannya.
Teori Expectancy dirintis pemikiraanya oleh Victor H. Vroom (lahir 9 Agustus 1932 di Montreal, Kanada). Seorang profesor sekolah bisnis di
Yale School of Management. Beliau meraih gelar PhD dari University of Michigan. Penelitian primer Vroom adalah
pada teori motivasi harapan, yang mencoba untuk menjelaskan mengapa orang memilih untuk mengikuti program tindakan tertentu dalam organisasi, khususnya
dalam pengambilan keputusan dan
kepemimpinan. Victor Vroom
diangkat menjadi
Ketua
Jurusan Ilmu Administrasi dan Direktur asosiasi dari Lembaga Sosial
dan Studi Kebijakan di Yale pada tahun 1972.
Victor
H. Vroom pada tahun 1964 mendefinisikan motivasi
sebagai suatu proses yang mengatur pilihan di antara bentuk-bentuk alternatif
dari kegiatan sukarela, suatu proses yang dikendalikan oleh individu. Individu
membuat pilihan berdasarkan perkiraan seberapa baik hasil yang diharapkan dari
perilaku tertentu akan cocok atau akhirnya mengarah pada hasil yang diinginkan.
Motivasi merupakan produk dari harapan individu bahwa upaya tertentu akan
mengarah pada kinerja yang diinginkan, perantaraan kinerja ini untuk mencapai
hasil tertentu, dan keinginan ini
untuk hasil
bagi individu yang dikenal sebagai valensi.
Usulan
baru Lawler untuk teori harapan tidak bertentangan dengan teori Vroom. Lawler
berpendapat bahwa karena telah ada berbagai perkembangan teori harapan sejak
pembentukannya pada tahun 1964, model harapan perlu diperbarui. Model baru Lawler
didasarkan pada empat klaim. Pertama, setiap kali ada sejumlah hasil, individu biasanya
akan memiliki pilihan diantara hasil tersebut. Kedua, ada kepercayaan pada sebagian individu bahwa dari tindakan merekalah hasil yang mereka inginkan tercapai. Ketiga, setiap hasil yang
diinginkan adalah
didapatkan dari perilaku individu. Akhirnya,
tindakan yang dihasilkan oleh individu adalah hasil dari
pilihan dan
harapan individu. Vroom sendiri setuju dengan beberapa kritik tersebut dan
menyatakan bahwa ia merasa bahwa teori harus diperluas untuk mencakup
penelitian yang dilakukan sejak publikasi asli dari bukunya.
Pada tahun 1968,
Porter dan Lawler mengajukan kritikan dan pembaharuan model harapan ini yang
menurut mereka terlalu sederhana dalam kehidupan nyata. Menurut Edward Lawler kesederhanaan
teori harapan menipu karena mengasumsikan bahwa jika majikan memberi hadiah, seperti bonus keuangan atau promosi yang cukup menarik, karyawan akan meningkatkan
produktivitas mereka untuk mendapatkan bonus tersebut. Namun, ini hanya bekerja jika karyawan percaya bonus ini bermanfaat untuk kebutuhan mendesak mereka. Sebagai
contoh, kenaikan $ 2 dalam gaji mungkin tidak diinginkan untuk seorang karyawan
jika kenaikan mendorong dia ke kantong
pajak dimana
dia tahu bahwa gaji bersihnya sebenarnya
berkurang. Demikian pula, promosi yang
memberikan status yang lebih tinggi tetapi membutuhkan waktu kerja yang lebih lama mungkin menjadi masalah bagi karyawan yang menghargai waktu malam dan akhir pekan dengan isteri dan anak-anak mereka.
Selain itu, bagi tentara di angkatan bersenjata atau
badan keamanan yang dipromosikan, ada kondisi
keharusan dari promosi tersebut, yaitu dia akan dipindahkan ke lokasi lain. Dalam kasus
tersebut, jika tempat barunya jauh dari tempat tinggal
permanen mereka, di mana keluarga mereka berada, maka mereka tidak akan termotivasi oleh promosi tersebut, dan
hasilnya akan sebaliknya. Maka, hasil atau promosi ini belum tentu akan menghasilkan motivasi,
bahkan mungkin tidak dihargai oleh orang-orang yang
menerimanya.
Aplikasi Teori Harapan
Teori
harapan Victor Vroom adalah salah satu teori yang diaplikasikan dalam manajemen yang difokuskan pada motivasi. Vroom menegaskan, bahwa intensitas usaha kerja tergantung pada persepsi bahwa
upaya individu akan menghasilkan hasil yang diinginkan. Vroom menunjukkan bahwa
bagi seseorang untuk termotivasi, maka
usaha, kinerja
dan motivasi harus dikaitkan
dengan tiga elemen teorinya. Dalam rangka meningkatkan ikatan
kinerja dengan hasil, manajer harus menggunakan sistem yang mengikat sangat
erat antara penghargaan dengan kinerja.
Manajer juga perlu memastikan bahwa penghargaan diberikan yang layak dan
diinginkan oleh penerima. Dalam rangka meningkatkan ikatan upaya dengan kinerja, manajer harus
terlibat dalam pelatihan untuk meningkatkan kemampuan mereka dan meningkatkan
keyakinan mereka bahwa pada kenyataannya peningkatan upaya akan mendorong
kinerja yang
lebih baik. Menekankan kepentingan dalam
penyelarasan penghargaan dengan keinginan karyawan. Menekankan hubungan antara
perilaku yang diharapkan
dengan
penghargaan dan tujuan organisasi.
Dalam bidang
pengajaran, Jere
Brophy dan Thomas Baik (1970, 1974) menyediakan model yang komprehensif tentang
bagaimana harapan guru dapat mempengaruhi prestasi siswa. Mereka berpendapat bahwa harapan
guru secara tidak langsung mempengaruhi prestasi anak-anak : "harapan guru
juga dapat mempengaruhi hasil siswa secara tidak langsung dengan menyebabkan terapi turunan guru dan siswa yang akan mengkondisikan sikap siswa, harapan, dan perilaku"
(Brophy, 1983, hal 639.) . Model ini mencakup urutan berikut ; Guru membentuk ekspektasi turunan bagi siswa di awal tahun ajaran. Berdasarkan harapan tersebut, mereka
berperilaku berbeda terhadap siswa yang berbeda, dan sebagai akibat dari
perilaku ini siswa mulai memahami apa yang guru harapkan dari mereka. Jika siswa menerima harapan dan perilaku
guru terhadap mereka maka mereka akan lebih cenderung untuk bertindak dengan
cara yang mengkonfirmasi harapan awal guru. Proses ini pada akhirnya akan
mempengaruhi prestasi belajar siswa sehingga harapan awal guru sudah
dikonfirmasi.
Dalam
membahas pekerjaan yang berhubungan dengan model ini, Brophy (1983) membuat
beberapa pengamatan penting tentang efek harapan guru. Pertama dan terpenting,
ia berpendapat bahwa sebagian besar keyakinan yang dipegang oleh guru mengenai
siswanya adalah akurat,
dan jadi harapan mereka biasanya mencerminkan tingkat kinerja aktual siswa. Akibatnya,
Brophy berpendapat bahwa efek prasangka
sendiri memiliki
efek yang relatif lemah terhadap prestasi belajar siswa, mengubah prestasi 5 %
sampai 10 %, meskipun ia mencatat bahwa efek dari ekspektasi negatif lebih berdampak efektif daripada ekspektasi positif. Kedua, ia menunjukkan bahwa berbagai faktor
perbedaan situasional dan individual mempengaruhi sejauh mana harapan guru akan
bertindak sebagai dirinya
sendiri dalam
memenuhi persangkaannya.
Pengertian Kinerja
Kinerja dalam organisasi
merupakan jawaban dari berhasil atau tidaknya tujuan organisasi yang telah
ditetapkan. Para atasan atau manajer
sering tidak memperhatikan kecuali sudah amat buruk atau segala sesuatu jadi
serba salah. Terlalu sering manajer tidak mengetahui betapa buruknya kinerja
telah merosot sehingga perusahaan
atau instansi menghadapi krisis yang serius. Kesan – kesan buruk organisasi
yang mendalam berakibat dan mengabaikan tanda – tanda peringatan adanya kinerja
yang merosot.
Kinerja
menurut Anwar Prabu Mangkunegara (2000 : 67) adalah hasil kerja secara kualitas
dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai
dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan
kepadanya. Menurut
Ambar Teguh Sulistiyani (2003 : 223), Kinerja seseorang merupakan
kombinasi dari kemampuan, usaha dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil
kerjanya. Maluyu S.P. Hasibuan (2001:34)
mengemukakan kinerja (prestasi kerja) adalah suatu hasil kerja yang dicapai
seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang
didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu.
Menurut John Whitmore (1997 :
104), kinerja adalah pelaksanaan fungsi-fungsi yang dituntut dari
seseorang,kinerja adalah suatu perbuatan, suatu prestasi, suatu pameran umum
ketrampikan. Menurut Barry Cushway (2002 : 1998), kinerja adalah menilai
bagaimana seseorang telah bekerja dibandingkan dengan target yang telah
ditentukan. Menurut Veizal Rivai ( 2004 : 309)
mengemukakan kinerja adalah merupakan
perilaku yang nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang
dihasilkan oleh karyawan
sesuai dengan perannya dalam perusahaan.
Menurut
Robert L. Mathis dan John H. Jackson terjamahaan Jimmy Sadeli dan Bayu Prawira
(2001 : 78), menyatakan bahwa kinerja pada dasarnya adalah apa yang
dilakukan atau tidak dilakukan karyawan. Menurut John Witmore dalam Coaching
for Perfomance (1997 : 104) kinerja adalah pelaksanaan fungsi-fungsi yang
dituntut dari seorang atau suatu perbuatan, suatu prestasi, suatu pameran umum
keterampilan.
Dari beberapa pemikiran dan falsafah
diatas dapat disimpulkan bahwa kinerja merupakan suatu kondisi yang harus
diketahui dan dikonfirmasikan kepada pihak tertentu untuk mengetahui tingkat
pencapaian hasil suatu instansi dihubungkan dengan visi yang diemban suatu
organisasi atau perusahaan serta mengetahui dampak positif dan negatif dari
suatu kebijakan operasional.
Mink (1993 : 76) mengemukakan
pendapatnya bahwa individu yang memiliki kinerja yang tinggi memiliki beberapa
karakteristik, yaitu diantaranya: (a) berorientasi pada prestasi, (b) memiliki
percaya diri, (c) berperngendalian diri, (d) kompetensi.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja
Menurut Robert L. Mathis dan John H. Jackson
(2001 : 82) faktor-faktor yang memengaruhi kinerja individu tenaga kerja,
yaitu:
1. Kemampuan mereka
2. Motivasi
3.Dukungan yang diterima
4.Keberadaan pekerjaan yang mereka lakukan
5.Hubungan mereka dengan organisasi.
Menurut Mangkunegara (2000) menyatakan bahwa faktor
yang memengaruhi kinerja antara lain :
a.
Faktor
kemampuan
Secara
psikologis kemampuan (ability) pegawai terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan
kemampuan realita (pendidikan). Oleh karena itu pegawai perlu dtempatkan pada
pekerjaan yang sesuai dengan keahlihannya.
b.
Faktor
motivasi
Motivasi
terbentuk dari sikap (attiude) seorang pegawai dalam menghadapi situasi
(situasion) kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri pegawai
terarah untuk mencapai tujuan kerja. Sikap mental merupakan kondisi mental yang
mendorong seseorang untuk berusaha mencapai potensi kerja secara maksimal.
David C. Mc Cleland (1997) seperti dikutip
Mangkunegara (2001 : 68), berpendapat bahwa “Ada hubungan yang positif
antara motif berprestasi dengan pencapaian kerja”. Motif berprestasi adalah
suatu dorongan dalam diri seseorang untuk melakukan suatu kegiatan atau tugas
dengan sebaik baiknya agar mampu mencapai prestasi kerja (kinerja) dengan
predikat terpuji. Selanjutnya Mc. Clelland, mengemukakan 6 karakteristik dari
seseorang yang memiliki motif yang tinggi yaitu :
1) Memiliki tanggung jawab yang tinggi
2) Berani mengambil risiko
3) Memiliki tujuan yang realistis
4) Memiliki rencana kerja yang menyeluruh dan
berjuang untuk merealisasi tujuan
5) Memanfaatkan
umpan balik yang kongkrit dalam seluruh kegiatan kerja yang dilakukan
6) Mencari kesempatan untuk merealisasikan rencana
yang telah diprogamkan
Menurut Gibson (1987) ada 3 faktor yang berpengaruh
terhadap kinerja :
1) Faktor
individu : kemampuan, ketrampilan, latar belakang keluarga, pengalaman
kerja, tingkat sosial dan demografi seseorang
2) Faktor psikologis : persepsi, peran, sikap,
kepribadian, motivasi dan kepuasan kerja
3) Faktor
organisasi : struktur organisasi, desain pekerjaan, kepemimpinan, sistem
penghargaan (reward system).
Menurut Kopelman
(1988), faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja adalah:
·
individual
characteristics (karakteristik individual)
·
organizational
charasteristic (karakteristik organisasi)
·
dan
work characteristics (karakteristik kerja)
Lebih lanjut
oleh Kopelman dijelaskan bahwa kinerja selain dipengaruhi oleh faktor
lingkungan juga sangat tergantung dari karakteristik individu seperti
kemampuan, pengetahuan, keterampilan, motivasi, norma dan nilai.
Dalam kaitannya dengan konsep kinerja, terlihat
bahwa karakteristik individu seperti kepribadian, umur dan jenis kelamin,
tingkat pendidikan suku bangsa, keadaan sosial ekonomi, pengalaman terhadap
keadaan yang lalu, akan menentukan perilaku kerja dan produktivitas kerja, baik
individu maupun organisasi sehingga hal tersebut akan menimbulkan kepuasan bagi
pelanggan atau pasien. Karakteristik individu selain dipengaruhi oleh
lingkungan, juga dipengaruhi oleh: (1) karakteristik orgnisasi seperti reward
system, seleksi dan pelatihan, struktur organisasi, visi dan misi organisasi
serta kepemimpinan; (2) karakteristik pekerjaan, seperti deskripsi pekerjaan,
desain pekerjaan dan jadwal kerja.
Budaya
Organisasi berpengaruh terhadap Motivasi dan Kinerja
Budaya organisasi sebagai faktor yang penting
bagi suatu organisasi atau perusahaan dalam menggerakan roda usaha atau
kegiatannya, juga menentukan arah dalam pencapaian tujuan. Sebagai falsafah,
ideologi, nilai-nilai, anggapan, keyakinan, harapan, sikap dan norma-norma yang
dimiliki secara bersama serta mengikat dalam suatu komunitas tertentu, secara
spesifik ditentukan oleh kondisi team work, leaders dan characteristic
of organization serta administration process yang berlaku. Budaya
yang produktif adalah budaya yang dapat menjadikan organisasi menjadi kuat dan
tujuan perusahaan dapat terakomodasi. Budaya organisasi yang produktif akan
menjadi dorongan kolektif yang kuat selain kompensasi, yaitu motivasi dan harapan atau Expectancy.
Secara teori dapat diasumsikan secara
positif dan konstruktif bahwa apabila suatu hal yang positif didorong maka akan
berdampak secara efek domino dan efek bola salju, dimana hal positif tadi akan
menghasilkan hal positif lain baik itu sebagai tujuan akhir maupun efek samping
dari suatu tindakan. Budaya organisasi yang produktif diasumsikan akan menjadi
dorongan atau motivasi positif bagi individu-individu didalam organisasi dalam
menjalankan fungsinya secara maksimal sehingga tercapai kinerja (prestasi
kerja) yang positif sesuai dengan tujuan organisasi. Thesis ini dapat ditemukan
dari berbagai literatur manajemen organisasi dan sumber daya manusia,
jurnal-jurnal penelitian, dan aplikasi manajemen saat ini.
Referensi:
Luthans,
Fred, 1992, Organizational Behavior, Sixth Edition, Singapore: McGraw
Hill Book Co.
Mangkunegara,
AA Anwar Prabu, 2001, Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung
PT.Remaja Rosdakarya.
Koesmono, H. Teman. 2005. Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Motivasi Dan Kepuasan Kerja Serta
Kinerja Karyawan Pada Sub Sektor Industri Pengolahan Kayu Skala Menengah Di
Jawa Timur. Surabaya (ID) :
Jurnal Ekonomi Manajemen Universitas Petra.
Laswitarni, Ni
Ketut. (2008). Budaya Organisasi,
Kepuasan Kerja, Motivasi dan Kinerja Karyawan (Suatu Studi di PT. Delta Satria Dewata
Denpasar). Bali (ID): STIMI Handayani Denpasar
Porwani, Sri.
(2010). Pengaruh Budaya Organisasi
terhadap Kinerja Karyawan Studi Kasus PT. Tambang Batubara Bukit Asam (Persero)
Tanjung Enim. Palembang (ID): Politeknik Darusalam
Octaviana, Nur. (2011).
Pengaruh Budaya Organisasi terhadap
Motivasi dan Kepuasan Kerja serta Kinerja (Pada PT. Mirota Kampus di
Yogyakarta). Yogyakarta (ID): Universitas Pembangunan Nasional
Teori
Dimensi Budaya. Dikutip dari : http://en.wikipedia.org/wiki/Hofstede%27s_cultural_dimensions_theory
Teori Motivasi. Dikutip dari : http://en.wikipedia.org/wiki/Motivation_theory
Teori Harapan. Dikutip dari : http://en.wikipedia.org/wiki/Expectancy_theory
Teori Kinerja. Dikutp dari : http://id.wikipedia.org/wiki/Kinerja
No comments:
Post a Comment