Sunday, August 16, 2015

PENGARUH BUDAYA ORGANISASI TERHADAP MOTIVASI DAN KINERJA OSDM


Setiap organisasi memiliki budaya dan pengaruh yang signifikan terhadap sikap dan perilaku anggota. Seringkali budaya dalam suatu organisasi berkembang dan sengaja dikembangkan dengan kuat, sehingga dalam kondisi demikian, setiap anggota mengetahui dengan baik tujuan organisasi yang akan dicapainya. Dan setiap karyawan dimotivasi untuk mencapai tujuan tersebut dan pada akhirnya budaya organisasi memiliki kekuatan untuk mempengaruhi kehidupan organisasi dan produktivitas kerja. Budaya organisasi berpengaruh terhadap motivasi dan kepuasan kerja serta kinerja pada karyawan. Budaya organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap motivasi kerja. Motivasi kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja.


Perkembangan jaman yang didorong oleh evolusi alam, pertumbuhan manusia dalam aspek fisik maupun psikologis, serta perkembangan kemajuan teknologi telah membawa banyak perubahan dalam seluruh aspek kehidupan manusia, baik dalam kapasitasnya sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia yang turut menjadi bagian dari organisasi baik formal maupun non formal, telah mengalami berbagai tantangan dalam berperilaku dan berasimilasi dalam lingkungan atau yang kita sering istilahkan dengan budaya.
Budaya organisasi menjadi sangat penting ketika peranan manusia sebagai salah satu sumber daya utama bagi sebuah organisasi atau perusahaan akan menentukan keberhasilan pencapaian tujuan organisasi atau perusahaan. Selain itu masalah utama yang dihadapi oleh sebuah organisasi adalah rendahnya kinerja sumber daya manusia. Persoalan yang ada adalah bagaimana dapat menciptakan sumber daya manusia yang dapat menghasilkan kinerja yang optimal sehingga tujuan organisasi dapat tercapai. Produktivitas kerja merupakan tuntutan utama bagi perusahaan agar kelangsungan dan keberlanjutan atau operasionalnya dapat terjamin. Produktivitas dan kinerja sumber daya manusia dapat memberikan kontribusi kepada organisasi secara makro maupun mikro. Banyak hal yang dapat mempengaruhi produktivitas kerja, untuk itu organisasi harus berusaha menjamin agar faktor-faktor yang berkaitan dengan produktivitas tenaga kerja dapat dipenuhi secara maksimal. Kualitas sumber daya manusia akan terpenuhi apabila motivasi sebagai unsur yang berpengaruh terhadap kinerja dapat terbentuk dengan maksimal.
Banyak hal yang dapat mempengaruhi produktivitas kerja, sehingga perusahaan harus menjaga faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja dapat terpenuhi secara maksimal. Persoalan kinerja akan dapat terlaksana dan terpenuhi apabila beberapa variabel yang mempengarhui mendukung sekali. Variabel yang dimaksud adalah Budaya dan Motivasi.
Menurut Kesmono (2005), budaya organisasi merupakan hal yang penting bagi suatu organisasi atau perusahaan, karena akan selalu berhubungan dengan kehidupan yang ada dalam perusahaan. Budaya organisasi merupakan falsafah, ideologi, nilai-nilai, anggapan, keyakinan, harapan, sikap dan norma-norma yang dimiliki secara bersama serta mengikat dalam suatu komunitas tertentu. Secara spesifik budaya dalam organisasi akan ditentukan oleh kondisi team work, leaders dan characteristic of organization serta administration process yang berlaku. Mengapa budaya organisasi penting, karena merupakan kebiasaan-kebiasaan yang terjadi dalam hirarki organisasi yang mewakili norma-norma perilaku yang diikuti oleh para anggota organisasi. Budaya yang produktif adalah budaya yang dapat menjadikan organisasi menjadi kuat dan tujuan perusahaan dapat terakomodasi.
Faktor lain yang berperan dalam menjadikan karyawan lebih berperilaku terarah apabila ada unsur-unsur positif dalam dirinya masing-masing. Pada umumnya dalam diri seorang pekerja ada dua hal yang penting dan dapat memberikan motivasi atau dorongan yaitu masalah kompensasi dan Expectancy. Khususnya masalah kompensasi sebagai imbal jasa dari pengusaha kepada karyawan yang telah memberikan kontribusinya selalu menjadikan sebagai ukuran puas atau tidaknya seseorang dalam menjalankan tugasnya atau pekerjaannya. Demikian pula pemberian kompensasi dapat berdampak negatif apabila dalam pelaksanaannya tidak adil dan tidak layak yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpuasan. Maka dalam pemberian kompensasi harus adil dan proporsional.
Mengenai Expectancy, setiap orang akan memiliki harapan-harapan yang akan diperoleh dalam melakukan kegiatannya, oleh karena itu tanpa adanya nilai harapan yang dimiliki, seseorang tidak akan melakukan usaha-usaha untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam expectancy theory dinyatakan bahwa orang termotivasi bereaksi dalam kehidupannya, berkeinginan menghasilkan kombinasi dari hasil-hasil yang diharapkan. Sehubungan dengan hal tersebut maka nampak jelas bahwa harapan dapat mendorong seseorang untuk memenuhi kebutuhannya, hal ini wajar karena manusia selalu mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda menurut status sosialnya di masyarakat, sehingga unsur pembentuk harapan-nya berbeda-beda pula.
Behavior merupakan bagian dari budaya yang berkaitan dengan kinerja, dengan berperilaku seseorang akan dapat memperoleh apa yang dikehendaki dan apa yang diharapkan. Jadi behavior merupakan tindakan yang nyata dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh apa yang diharapkan. Perilaku individu yang berada dalam organisasi atau perusahaan sangat mempengaruhi organisasi baik secara langsung maupun tidak langsung, sebagai akibat dari kemampuan individu yang berbeda-beda dalam menghadapi tugas atau aktivitasnya. Perilaku akan timbul atau muncul akibat adanya pengaruh atau rangsangan dari lingkungan yang ada (baik internal maupun eksternal) begitu pula individu berperilaku karena adanya dorongan oleh serangkaian kebutuhan. Setiap manusia atau seseorang selalu mempertimbangkan perilakunya untuk mencapai segala apa yang diinginkannya tanpa menimbulkan konflik baik secara individu maupun kelompok, sehingga kinerja dapat tercapai sesuai dengan yang diinginkan.



Budaya organisasi dan sejarahnya

Perkembangan jaman yang didorong oleh evolusi alam, pertumbuhan manusia dalam aspek fisik maupun psikologis, serta perkembangan kemajuan teknologi telah membawa banyak perubahan dalam seluruh aspek kehidupan manusia, baik dalam kapasitasnya sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia yang turut menjadi bagian dari organisasi baik formal maupun non formal, telah mengalami berbagai tantangan dalam berperilaku dan berasimilasi dalam lingkungan atau yang kita sering istilahkan dengan budaya.
Budaya organisasi menjadi sangat penting ketika peranan manusia sebagai salah satu sumber daya utama bagi sebuah organisasi atau perusahaan akan menentukan keberhasilan pencapaian tujuan organisasi atau perusahaan. Dan sudah sejak lama para ahli dan pemikir di bidang manajemen sumber daya manusia mencari teori dan falsafah yang dapat menggambarkan secara komprehensif mengenai budaya organisasi dan pengaruhnya dalam aspek kehidupan manusia dan organisasi.
Dalam memandang budaya organisasi sebagai variabel, ada satu perspektif bahwa budaya adalah sesuatu yang dimiliki oleh sebuah organisasi. Budaya adalah salah satu entitas yang menambah nilai organisasi secara keseluruhan. Budaya dapat dibentuk dan diubah tergantung pada kepemimpinan dan anggota. Perspektif ini memandang budaya yang kuat akan menjadi daya tarik untuk semua anggotanya.
Ada beberapa metode maupun teori hasil pemikiran dan penelitian yang mengembangkan perspektif budaya organisasi ini yang bervariasi dari masa ke masa. Namun tulisan ini akan menguraikan salah satu teori diantaranya, yaitu Hofstede Cultural Dimensions Theory atau Teori Dimensi Budaya yang dikembangkan oleh Hofstede.

Teori Dimensi Budaya Hofstede
Teori dimensi budaya Hofstede adalah suatu kerangka kerja untuk komunikasi lintas budaya yang dikembangkan oleh Geert Hofstede. Teori ini menggambarkan efek dari budaya masyarakat pada nilai-nilai anggotanya, dan bagaimana nilai-nilai ini berhubungan dengan perilaku, menggunakan struktur yang berasal dari analisis faktor. Teori ini telah digunakan secara luas di beberapa bidang sebagai paradigma untuk penelitian, khususnya dalam psikologi lintas-budaya, manajemen internasional, dan komunikasi lintas budaya.
Hofstede mendefinisikan budaya sebagai "pemrograman pikiran secara kolektif yang
membedakan
antara anggota satu kelompok dengan anggota dari kelompok lain " (Hofstede et al , 2010 : .6). Investigasi budaya merupakan upaya untuk menangkap kecenderungan umum antara sekelompok besar manusia pada tingkat yang sangat umum. Ada berbagai tingkat budaya (nasional, regional, etnis, agama, jenis kelamin, kelas sosial atau tingkat organisasi yang lebih besar). Adapun empat dimensi utama menurut Hofstede adalah:
·         Power Distance Index (PDI): sejauh mana anggota dalam organisasi dan lembaga yang kurang kuat seperti keluarga menerima dan mengharapkan kekuatan yang didistribusikan tidak merata.
·         Individualisme (IDV) : sejauh mana individu diintegrasikan kedalam kelompok.
·         Maskulinitas (MAS) : mengacu pada pembagian peran dan nilai-nilai antara jenis kelamin. Para wanita di negara-negara feminin memiliki model yang sama, peduli nilai-nilai sebagai manusia, sedangkan di negara-negara maskulin mereka agak tegas dan kompetitif, tapi negara-negara feminis tidak sebanyak yang maskulin, sehingga negara-negara ini menunjukkan kesenjangan antara nilai-nilai laki-laki dan  nilai-nilai perempuan.
·        Uncertainty Avoidence Index (UAI) : toleransi masyarakat untuk ketidakpastian dan ambiguitas.
·        Long Term Orientation (LTO)  : awalnya disebut "dinamika Konghucu".  Masyarakat yang berorientasi jangka panjang lebih mementingkan masa depan. Mereka mendorong nilai-nilai pragmatis berorientasi pada penghargaan, termasuk ketekunan, hemat dan kapasitas untuk adaptasi. Dalam masyarakat yang berorientasi jangka pendek, nilai-nilai yang dipromosikan berkaitan dengan masa lalu dan masa kini, termasuk kemantapan, menghormati tradisi, pelestarian kehidupan seseorang, balasan dan memenuhi kewajiban sosial.
·        Indulgence Versus Restraint (IVR) : Sejauh mana anggota masyarakat mencoba untuk mengendalikan keinginan dan dorongan mereka. Sedangkan masyarakat memanjakan diri untuk memiliki kecenderungan kepuasan relatif bebas yang memungkinkan dari keinginan dasar manusia dan alam yang terkait dengan menikmati hidup dan bersenang-senang, menahan masyarakat dari memiliki keyakinan bahwa kesenangan tersebut perlu diatasi dan diatur oleh norma-norma yang ketat.

Sejarah
Teori atau model dimensi budaya ini dikembangakan oleh Gerard Hendrik (Geert) Hofstede, lahir pada 2 Oktober 1928 di Haarlem, seorang psikolog sosial berkebangsaan Belanda. Mengawali karir sebagai seorang karyawan di IBM, dan Professor Emeritus of Organizational Anthropology and International Management di Universitas Maastricht Belanda, dikenal sebagai pelopor penelitian Lintas Budaya kelompok dan organisasi.
Pada tahun 1965, Geert Hofstede mendirikan departemen penelitian personil IBM Eropa (yang ia kelola sampai tahun 1971). Antara tahun 1967 dan 1973, dia melakukan studi survei besar mengenai perbedaan nilai-nilai nasional antar anak perusahaan di seluruh dunia perusahaan multinasional ini. Dia membandingkan jawaban dari 117.000 sampel karyawan IBM yang cocok pada survei sikap yang sama di negara yang berbeda. Dia pertama kali memfokuskan penelitiannya pada 40 negara terbesar, dan kemudian diperluas ke 50 negara dan 3 wilayah. Analisis awal ini mengidentifikasi perbedaan sistematis dalam budaya nasional pada empat dimensi utama yaitu ; jarak kekuasaan (PDI) , individualisme (IDV), penghindaran ketidakpastian (UAI) dan maskulinitas (MAS). Menurut Hofstede teori dimensi ini menganggap bahwa empat wilayah masalah antropologis membedakan penanganan pada masyarakat yang berbeda dalam hal: cara mengatasi ketimpangan, cara mengatasi ketidakpastian, hubungan individu dengan dirinya atau kelompok utamanya, dan implikasi emosional akbiat terlahir sebagai seorang gadis atau sebagai anak laki-laki. Pada tahun 1980 ia menerbitkan Culture’s Consequences, sebuah buku yang menggabungkan analisis statistik dari penelitian survei dengan pengalaman pribadinya.
Dalam rangka untuk mengkonfirmasi hasil awal dari studi IBM dan untuk memperluasnya menjadi berbagai populasi, enam penelitian lintas-nasional selanjutnya telah berhasil dilakukan antara tahun 1990 dan 2002. Meliputi antara 14 sampai 28 negara, termasuk sampel pilot maskapai penerbangan komersial, mahasiswa, manajer layanan sipil, konsumen kelas atas dan elit. Penelitian gabungan menciptakan skor nilai pada empat dimensi untuk total 76 negara dan wilayah.
Pada tahun 1991, Michael Harris Bond dan rekan melakukan penelitian di kalangan siswa di 23 negara, dengan menggunakan instrumen survei yang dikembangkan  karyawan dan manajer Chinese. Hasil dari studi ini mendorong Hofstede menambahkan dimensi kelima baru untuk modelnya yaitu orientasi jangka panjang atau Long Term Orientation (LTO) yang pada awalnya disebut dinamika Konghucu. Pada tahun 2010, nilai untuk dimensi ini telah diperluas untuk 93 negara berkat penelitian Michael Minkov yang menggunakan Survey Nilai-nilai Dunia terbaru. Akhirnya, Analisis Nilai-nilai Dunia Minkov itu yang berasal dari data Survei 93 sampel yang mewakili populasi nasional, juga menyebabkan Geert Hofstede untuk mengidentifikasi dimensi keenam terakhir yaitu indulgence versus restraint atau mengumbar dibandingkan menahan diri.

Aplikasi Teori Dimensi Budaya
Dalam interaksi kehidupan masayarkat sosial, budaya lebih sering menjadi sumber konflik daripada sinergi. Perbedaan budaya adalah potensi konflik yang besar dan sering menimbulkan bencana sosial, meskipun banyak juga bukti bahwa kelompok-kelompok yang berbeda satu sama lain dapat harmonis. Kita cenderung percaya bahwa jauh di dalam hati nurani semua orang adalah memiliki sifat manusiawi yang relatif sama . Bahkan, pada umumnya setiap bangsa belum tentu menyadari budaya bangsa lain, suatu masyarakat cenderung untuk meminimalkan perbedaan budaya .
Hal ini menyebabkan kesalahpahaman dan salah tafsir antara orang-orang dari berbagai negara . Alih-alih fenomena konvergensi yang diharapkan dengan ketersediaan teknologi informasi, perbedaan budaya masih terlihat menonjol hari ini dan keragaman cenderung meningkat seiring dengan kemajuan peradaban manusia. Maka untuk dapat memiliki hubungan lintas budaya yang saling menghormati, harus menyadari perbedaan-perbedaan budaya. Dengan model ini, Geert Hofstede  menjelaskan perbedaan-perbedaan ini. Teori ini dapat digunakan untuk memberikan gambaran umum dan pemahaman budaya lain, apa yang diharapkan dari mereka dan bagaimana bersikap terhadap kelompok-kelompok dari daerah atau negara lain.
Geert Hofstede sebagai sosiolog budaya dan antropolog terkenal dalam konteks aplikasi untuk memahami bisnis internasional. Artikel dan makalah penelitiannya banyak mengacu pada publikasi, dengan lebih dari 20.000 kutipan bukunya Culture’s Consequences 2003 ini: Membandingkan Nilai, Perilaku, Lembaga dan Organisasi Lintas Bangsa. Enam dimensi model banyak digunakan di berbagai bidang kehidupan sosial manusia, dan khususnya di bidang bisnis. Bahkan, ketika datang ke bisnis, mempromosikan kepekaan budaya akan membantu orang bekerja lebih efektif saat berinteraksi dengan orang-orang dari negara lain, dan akan berpartisipasi untuk memastikan transaksi yang berhasil.

Komunikasi Internasional
Dalam bisnis, secara umum disepakati bahwa komunikasi adalah salah satu perhatian utama. Maka bagi para profesional yang bekerja secara internasional dan orang-orang yang sehari-hari berinteraksi dengan orang lain dari berbagai negara dalam perusahaan atau dengan perusahaan lain di luar negeri,  model Hofstede memberikan wawasan ke dalam budaya lain. Bahkan, komunikasi lintas budaya dibutuhkan untuk  menyadari perbedaan budaya dan apa yang dianggap benar-benar dapat diterima dan dialami di satu negara, sehingga tidak membingungkan atau bahkan ofensif terhadap negara lain. Semua tingkat dalam komunikasi dipengaruhi oleh dimensi budaya: verbal (kata-kata dan bahasa itu sendiri), non verbal (bahasa tubuh, gerakan) dan etika yang harus dan tidak boleh (pakaian, pemberian hadiah, makan, kebiasaan dan protokol). Dan ini juga berlaku untuk komunikasi tertulis.

Negosiasi Internasional
Dalam negosiasi internasional, gaya komunikasi, harapan, peringkat masalah dan tujuan akan berubah sesuai dengan negara asal sang negosiator. Jika diterapkan dengan benar, pemahaman dimensi budaya seharusnya dapat meningkatkan keberhasilan dalam negosiasi dan mengurangi frustrasi dan konflik. Misalnya, dalam negosiasi antara Cina dan Kanada, Canadian negosiator mungkin ingin mencapai kesepakatan dan menandatangani kontrak, sedangkan utusan Cina mungkin ingin menghabiskan lebih banyak waktu untuk kegiatan non bisnis, pembicaraan kecil dan kenyamanan sesuai dengan seleranya sebagai bentuk formalitas untuk membangun hubungan pertama kali
Ketika negosiasi di negara-negara Barat, tujuannya adalah untuk bekerja menuju sasaran pemahaman yang sama dan kesepakatan dan berjabat tangan ketika kesepakatan itu tercapai, sebagai bentuk budaya pada saat mengakhiri negosiasi dan mengawali kerjasama. Di negara Timur Tengah banyak negosiasi berlangsung yang mengarah ke perjanjian ditandai dengan berjabat tangan. Namun,  kesepakatan itu belum selesai dalam budaya Timur Tengah. Bahkan, itu adalah tanda budaya bahwa negosiasi yang serius baru akan dimulai.

Manajemen Internasional
Pertimbangan ini juga berlaku dalam manajemen internasional dan kepemimpinan lintas budaya. Keputusan yang diambil harus didasarkan pada kebiasaan dan nilai-nilai suatu negara. Ketika bekerja di perusahaan internasional, seorang manajer dapat memberikan pelatihan kepada karyawan mereka dalam rangka untuk membuat mereka sensitifitas terhadap perbedaan budaya, mengembangkan praktek bisnis bernuansa lokal, dengan peraturan antar negara. Dimensi Hofstede menawarkan pedoman untuk menentukan pendekatan budaya yang dapat diterima dalam organisasi perusahaan. Sebagai bagian dari domain publik, karya Geert Hofstede digunakan oleh banyak konsultan di seluruh dunia. Tapi hanya 3 dari mereka yang dianggap sebagai mitra dan memiliki dukungan penuh Hofstede dengan kontak biasa.

Pemasaran Internasional
Seperti dalam komunikasi, negosiasi dan manajemen, model enam dimensi sangat berguna juga dalam pemasaran internasional karena mendefinisikan nilai-nilai nasional tidak hanya dalam konteks bisnis, tetapi secara umum. Marieke de Mooij telah mempelajari penerapan temuan Hofstede di bidang branding, strategi periklanan global dan perilaku konsumen. Sebagai perusahaan mencoba untuk menyesuaikan produk dan layanan mereka kepada kebiasaan lokal dan selera mereka, serta harus memahami kekhasan pasar mereka.
Misalnya, jika ingin memasarkan mobil di negara yang memiliki kebiasaan menghindari resiko yang tinggi, maka harus menekankan pada keselamatan mereka, sedangkan di negara-negara lain mungkin mendasarkan iklan pada citra sosial yang mereka perlihatkan. Pemasaran ponsel adalah contoh lain yang menarik dari penerapan model Hofstede untuk perbedaan budaya : jika ingin mengiklankan ponsel di Cina, dapat menunjukkan pengalaman kolektif dan testimonial sedangkan di Amerika Serikat mungkin menunjukkan bagaimana seseorang menggunakannya untuk menghemat waktu dan uang. Berbagai aplikasi teori abstrak Hofstede begitu luas bahkan telah diterjemahkan dalam bidang web desain di mana desain harus beradaptasi dengan selera lokal dan sesuai dengan nilai-nilai budayanya.

Teori Motivasi

Manusia dalam kehidupannya dituntut untuk memenuhi berbagai macam keinginan dan kebutuhan, dan untuk dapat memenuhi keinginan dan kebutuhannya haruslah melalui proses dan usaha yang maksimal. Setiap manusia satu dengan yang lainnya memiliki kebutuhan berbeda-beda, dan cara yang berbeda dalam memperolehnya. Dalam proses memenuhi kebutuhannya seseorang akan berperilaku sesuai dengan dorongan yang dimiliki dan apa yang mendasari perilakunya, untuk itu dapat dikatakan bahwa dalam diri seseorang ada kekuatan yang mengarahkan tindakannya. Menurut Koesmono (2005), teori motivasi merupakan konsep yang bersifat memberikan penjelasan tentang kebutuhan dan keinginan seseorang serta menunjukkan arah tindakannya. Berbagai teori motivasi yang ada salah satunya adalah Porter Lawler Model.

Teori Expectancy (Pengharapan) model Porter Lawler

Teori expectancy menyatakan bahwa seorang individu akan memutuskan untuk berperilaku atau bertindak dengan cara tertentu karena mereka termotivasi untuk memilih perilaku tertentu atas perilaku lain, karena apa yang mereka harapkan akan hasil dari perilaku yang dipilih. Pada dasarnya, motivasi pemilihan perilaku ditentukan oleh keinginan hasilnya. Namun, inti dari teori ini adalah proses kognitif tentang bagaimana individu memproses elemen motivasi yang berbeda. Hal ini dilakukan sebelum membuat pilihan utama. Hasilnya bukanlah satu-satunya faktor penentu dalam membuat keputusan tentang bagaimana berperilaku.
Teori Expectancy adalah tentang proses mental mengenai pilihan, atau memilih. Ini menjelaskan proses yang dialami seorang individu dalam membuat pilihan. Dalam studi perilaku organisasi, teori harapan adalah teori motivasi yang pertama kali diusulkan oleh Victor Vroom dari Yale School of Management. Teori ini menekankan kebutuhan bagi organisasi untuk menghubungkan penghargaan langsung dengan kinerja dan untuk memastikan bahwa manfaat yang diberikan adalah penghargaan layak bagi mereka dan sesuai dengan yang diinginkan oleh penerimanya.
Teori Motivasi Harapan menjelaskan proses perilaku mengapa individu memilih satu pilihan perilaku di atas yang lain. Hal ini juga menjelaskan bagaimana mereka membuat keputusan untuk mencapai akhir yang mereka nilai. Vroom memperkenalkan tiga variabel dalam teori harapan yaitu valensi atau Valence (V), harapan atau Expectancy (E) dan perantaraan atau Instrumentality (I). Tiga elemen penting di balik memilih satu elemen atas yang lain karena mereka dapat dijelaskan. Tiga komponen dari teory expectanxy adalah :
1.     Expectancy: Effort → Performance (E→P)
2.     Instrumentality: Performance → Outcome (P→O)
3.     Valence- V(R)

Expectancy: Effort → Performance (E→P)

Harapan adalah keyakinan bahwa usaha seseorang atau effort (E) akan menghasilkan pencapaian kinerja yang diinginkan atau performance (P). Biasanya didasarkan pada pengalaman individu masa lalu, kepercayaan diri (self efficacy), dan kesulitan yang dirasakan dari standar kinerja atau tujuan. Faktor yang terkait dengan persepsi Harapan individu adalah kepercayaan diri, kesulitan tujuan, dan kontrol. Kepercayaan diri adalah keyakinan seseorang tentang kemampuan mereka untuk berhasil melakukan perilaku tertentu. Kesulitan tujuan terjadi ketika tujuan yang ditetapkan terlalu tinggi atau kinerja harapan yang dibuat terlalu sulit yang paling mungkin menyebabkan persepsi harapan yang rendah. Kontrol adalah kendali yang dirasakan seseorang atas kinerja. Agar harapan menjadi tinggi, orang harus percaya bahwa mereka memiliki beberapa tingkat kontrol atas hasil yang diharapkan.

 

Instrumentality: Performance → Outcome (P→O)

Perantaraan adalah keyakinan bahwa seseorang akan menerima imbalan jika ekspektasi kinerja terpenuhi. Reward ini mungkin datang dalam bentuk kenaikan gaji, promosi, pengakuan atau rasa keberhasilan. Perantaraan rendah ketika bonusnya adalah sama untuk semua kinerja yang diberikan. Faktor yang terkait dengan perantaraan individu untuk hasil adalah kepercayaan, kontrol dan kebijakan. Jika individu percaya kepada atasan mereka, mereka lebih cenderung percaya janji pemimpin mereka. Ketika ada kurangnya kepercayaan dalam kepemimpinan, orang sering mencoba untuk mengontrol sistem penghargaan. Ketika orang percaya bahwa mereka memiliki semacam kontrol atas bagaimana, kapan, dan mengapa penghargaan didistribusikan, Instrumentality cenderung meningkat. Kebijakan tertulis yang diformalkan berdampak pada persepsi perantaraan individu. Perantaraan meningkat ketika kebijakan yang diformalkan diasosiasikan dengan penghargaan terhadap kinerja.

Valence V(R)

Valensi adalah penempatan nilai individu pada penghargaan berdasarkan kebutuhan, tujuan, nilai-nilai dan sumber motivasi mereka. Faktor yang terkait dengan valensi individu untuk hasil adalah nilai-nilai, kebutuhan, tujuan, preferensi dan sumber kekuatan motivasi preferensi individu untuk hasil tertentu. Valensi mengacu pada nilai individu dalam menempatkan pribadi pada penghargaan. -1 → 0 → +1. -1 = Menghindari hasil 0 = acuh tak acuh terhadap hasil +1 = menyambut hasilnya.
Agar valensi positif, orang tersebut harus memilih mencapai nilai itu dengan tidak mencapai hasil. Teori motivasi Harapan dapat membantu manajer memahami bagaimana individu membuat keputusan mengenai berbagai alternatif perilaku. Model di bawah ini menunjukkan arah motivasi, saat perilaku diberi energi: Motivational Force (MF) = Expectancy x Instrumentality x Valence.
Ketika memutuskan di antara pilihan perilaku, individu memilih opsi dengan jumlah kekuatan motivasi (MF) terbesar. Harapan dan perantaraan adalah sikap (kognitif) yang mewakili persepsi individu dari kemungkinan bahwa upaya akan mengarah pada kinerja yang akan mengarah pada hasil yang diinginkan. Persepsi ini merupakan realitas subyektif individu, dan mungkin atau tidak mungkin menanggung kemiripan dekat dengan probabilitas yang sebenarnya. Persepsi ini dibentuk oleh pengalaman individu (teori belajar), pengamatan orang lain (teori belajar sosial), dan persepsi individu. Valensi berakar pada sistem nilai individu. Salah satu contoh bagaimana teori ini dapat diterapkan adalah terkait dengan mengevaluasi prestasi kerja karyawan. Salah satu fungsi kinerja merupakan hubungan dari perkalian antara motivasi dan kemampuan [ P = f ( M * A ) ]. Motivasi dapat dinyatakan sebagai [ M = f ( V * E ) ] seseorang, atau sebagai fungsi kali valensi harapan. Dalam istilah awam, dapat dijelaskan adalah seberapa banyak yang diinvestasikan oleh seseorang dalam sesuatu, bersama dengan keyakinan individu tersebut dengan bagaimana kemungkinan atau kemampuan mencapai tujuannya.
 Teori Expectancy dirintis pemikiraanya oleh Victor H. Vroom (lahir 9 Agustus 1932 di Montreal, Kanada). Seorang profesor sekolah bisnis di Yale School of Management. Beliau meraih gelar PhD dari University of Michigan. Penelitian primer Vroom adalah pada teori motivasi harapan, yang mencoba untuk menjelaskan mengapa orang memilih untuk mengikuti program tindakan tertentu dalam organisasi, khususnya dalam pengambilan keputusan dan kepemimpinan. Victor Vroom diangkat menjadi Ketua Jurusan Ilmu Administrasi dan Direktur asosiasi dari Lembaga Sosial dan Studi Kebijakan di Yale pada tahun 1972.
Victor H. Vroom pada tahun 1964 mendefinisikan motivasi sebagai suatu proses yang mengatur pilihan di antara bentuk-bentuk alternatif dari kegiatan sukarela, suatu proses yang dikendalikan oleh individu. Individu membuat pilihan berdasarkan perkiraan seberapa baik hasil yang diharapkan dari perilaku tertentu akan cocok atau akhirnya mengarah pada hasil yang diinginkan. Motivasi merupakan produk dari harapan individu bahwa upaya tertentu akan mengarah pada kinerja yang diinginkan, perantaraan kinerja ini untuk mencapai hasil tertentu, dan keinginan ini untuk hasil bagi individu yang dikenal sebagai valensi.
Usulan baru Lawler untuk teori harapan tidak bertentangan dengan teori Vroom. Lawler berpendapat bahwa karena telah ada berbagai perkembangan teori harapan sejak pembentukannya pada tahun 1964, model harapan perlu diperbarui. Model baru Lawler didasarkan pada empat klaim. Pertama, setiap kali ada sejumlah hasil, individu biasanya akan memiliki pilihan diantara hasil tersebut. Kedua, ada kepercayaan pada sebagian individu bahwa dari tindakan merekalah hasil yang mereka inginkan tercapai. Ketiga, setiap hasil yang diinginkan adalah didapatkan dari perilaku individu. Akhirnya, tindakan yang dihasilkan oleh individu adalah hasil dari pilihan dan harapan individu. Vroom sendiri setuju dengan beberapa kritik tersebut dan menyatakan bahwa ia merasa bahwa teori harus diperluas untuk mencakup penelitian yang dilakukan sejak publikasi asli dari bukunya.
Pada tahun 1968, Porter dan Lawler mengajukan kritikan dan pembaharuan model harapan ini yang menurut mereka terlalu sederhana dalam kehidupan nyata. Menurut Edward Lawler kesederhanaan teori harapan menipu karena mengasumsikan bahwa jika majikan memberi hadiah, seperti bonus keuangan atau promosi yang cukup menarik, karyawan akan meningkatkan produktivitas mereka untuk mendapatkan bonus tersebut. Namun, ini hanya bekerja jika karyawan percaya bonus ini bermanfaat untuk kebutuhan mendesak mereka. Sebagai contoh, kenaikan $ 2 dalam gaji mungkin tidak diinginkan untuk seorang karyawan jika kenaikan mendorong dia ke kantong pajak dimana dia tahu bahwa gaji bersihnya sebenarnya berkurang. Demikian pula, promosi yang memberikan status yang lebih tinggi tetapi membutuhkan waktu kerja yang lebih lama mungkin menjadi masalah bagi karyawan yang menghargai waktu malam dan akhir pekan dengan isteri dan anak-anak mereka. Selain itu, bagi tentara di angkatan bersenjata atau badan keamanan yang dipromosikan, ada kondisi keharusan dari promosi tersebut, yaitu dia akan dipindahkan ke lokasi lain. Dalam kasus tersebut, jika tempat barunya jauh dari tempat tinggal permanen mereka, di mana keluarga mereka berada, maka mereka tidak akan termotivasi oleh promosi tersebut, dan hasilnya akan sebaliknya. Maka, hasil atau promosi ini belum tentu akan menghasilkan motivasi, bahkan  mungkin tidak dihargai oleh orang-orang yang menerimanya.

Aplikasi Teori Harapan

Teori harapan Victor Vroom adalah salah satu teori yang diaplikasikan dalam manajemen yang difokuskan pada motivasi. Vroom menegaskan, bahwa intensitas usaha kerja tergantung pada persepsi bahwa upaya individu akan menghasilkan hasil yang diinginkan. Vroom menunjukkan bahwa bagi seseorang untuk termotivasi, maka usaha, kinerja dan motivasi harus dikaitkan dengan tiga elemen teorinya. Dalam rangka meningkatkan ikatan kinerja dengan hasil, manajer harus menggunakan sistem yang mengikat sangat erat antara penghargaan dengan kinerja. Manajer juga perlu memastikan bahwa penghargaan diberikan yang layak dan diinginkan oleh penerima. Dalam rangka meningkatkan ikatan upaya dengan kinerja, manajer harus terlibat dalam pelatihan untuk meningkatkan kemampuan mereka dan meningkatkan keyakinan mereka bahwa pada kenyataannya peningkatan upaya akan mendorong kinerja yang lebih baik. Menekankan kepentingan dalam penyelarasan penghargaan dengan keinginan karyawan. Menekankan hubungan antara perilaku yang diharapkan dengan penghargaan dan tujuan organisasi.
Dalam bidang pengajaran, Jere Brophy dan Thomas Baik (1970, 1974) menyediakan model yang komprehensif tentang bagaimana harapan guru dapat mempengaruhi prestasi siswa. Mereka berpendapat bahwa harapan guru secara tidak langsung mempengaruhi prestasi anak-anak : "harapan guru juga dapat mempengaruhi hasil siswa secara tidak langsung dengan menyebabkan terapi turunan guru dan siswa yang akan mengkondisikan sikap siswa, harapan, dan perilaku" (Brophy, 1983, hal 639.) . Model ini mencakup urutan berikut ; Guru membentuk ekspektasi turunan bagi siswa di awal tahun ajaran. Berdasarkan harapan tersebut, mereka berperilaku berbeda terhadap siswa yang berbeda, dan sebagai akibat dari perilaku ini siswa mulai memahami apa yang guru harapkan dari mereka. Jika siswa menerima harapan dan perilaku guru terhadap mereka maka mereka akan lebih cenderung untuk bertindak dengan cara yang mengkonfirmasi harapan awal guru. Proses ini pada akhirnya akan mempengaruhi prestasi belajar siswa sehingga harapan awal guru sudah dikonfirmasi.
Dalam membahas pekerjaan yang berhubungan dengan model ini, Brophy (1983) membuat beberapa pengamatan penting tentang efek harapan guru. Pertama dan terpenting, ia berpendapat bahwa sebagian besar keyakinan yang dipegang oleh guru mengenai siswanya adalah akurat, dan jadi harapan mereka biasanya mencerminkan tingkat kinerja aktual siswa. Akibatnya, Brophy berpendapat bahwa efek prasangka sendiri memiliki efek yang relatif lemah terhadap prestasi belajar siswa, mengubah prestasi 5 % sampai 10 %, meskipun ia mencatat bahwa efek dari ekspektasi negatif lebih berdampak efektif daripada ekspektasi positif. Kedua, ia menunjukkan bahwa berbagai faktor perbedaan situasional dan individual mempengaruhi sejauh mana harapan guru akan bertindak sebagai dirinya sendiri dalam memenuhi persangkaannya.

Pengertian Kinerja
Kinerja dalam organisasi merupakan jawaban dari berhasil atau tidaknya tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Para atasan atau manajer sering tidak memperhatikan kecuali sudah amat buruk atau segala sesuatu jadi serba salah. Terlalu sering manajer tidak mengetahui betapa buruknya kinerja telah merosot sehingga perusahaan atau instansi menghadapi krisis yang serius. Kesan – kesan buruk organisasi yang mendalam berakibat dan mengabaikan tanda – tanda peringatan adanya kinerja yang merosot.
Kinerja menurut Anwar Prabu Mangkunegara (2000 : 67) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Menurut Ambar Teguh Sulistiyani (2003 : 223), Kinerja seseorang merupakan kombinasi dari kemampuan, usaha dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil kerjanya. Maluyu S.P. Hasibuan (2001:34) mengemukakan kinerja (prestasi kerja) adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu.
Menurut John Whitmore (1997 : 104), kinerja adalah pelaksanaan fungsi-fungsi yang dituntut dari seseorang,kinerja adalah suatu perbuatan, suatu prestasi, suatu pameran umum ketrampikan. Menurut Barry Cushway (2002 : 1998), kinerja adalah menilai bagaimana seseorang telah bekerja dibandingkan dengan target yang telah ditentukan. Menurut Veizal Rivai ( 2004 : 309) mengemukakan kinerja adalah merupakan perilaku yang nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan.
Menurut Robert L. Mathis dan John H. Jackson terjamahaan Jimmy Sadeli dan Bayu Prawira (2001 : 78), menyatakan bahwa kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan karyawan. Menurut John Witmore dalam Coaching for Perfomance (1997 : 104) kinerja adalah pelaksanaan fungsi-fungsi yang dituntut dari seorang atau suatu perbuatan, suatu prestasi, suatu pameran umum keterampilan.
Dari beberapa pemikiran dan falsafah diatas dapat disimpulkan bahwa kinerja merupakan suatu kondisi yang harus diketahui dan dikonfirmasikan kepada pihak tertentu untuk mengetahui tingkat pencapaian hasil suatu instansi dihubungkan dengan visi yang diemban suatu organisasi atau perusahaan serta mengetahui dampak positif dan negatif dari suatu kebijakan operasional.
Mink (1993 : 76) mengemukakan pendapatnya bahwa individu yang memiliki kinerja yang tinggi memiliki beberapa karakteristik, yaitu diantaranya: (a) berorientasi pada prestasi, (b) memiliki percaya diri, (c) berperngendalian diri, (d) kompetensi.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja


Menurut Robert L. Mathis dan John H. Jackson (2001 : 82) faktor-faktor yang memengaruhi kinerja individu tenaga kerja, yaitu:
1. Kemampuan mereka
2. Motivasi
3.Dukungan yang diterima
4.Keberadaan pekerjaan yang mereka lakukan
5.Hubungan mereka dengan organisasi.

Menurut Mangkunegara (2000) menyatakan bahwa faktor yang memengaruhi kinerja antara lain :
a.       Faktor kemampuan
Secara psikologis kemampuan (ability) pegawai terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan realita (pendidikan). Oleh karena itu pegawai perlu dtempatkan pada pekerjaan yang sesuai dengan keahlihannya.
b.      Faktor motivasi
Motivasi terbentuk dari sikap (attiude) seorang pegawai dalam menghadapi situasi (situasion) kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri pegawai terarah untuk mencapai tujuan kerja. Sikap mental merupakan kondisi mental yang mendorong seseorang untuk berusaha mencapai potensi kerja secara maksimal.

David C. Mc Cleland (1997) seperti dikutip Mangkunegara (2001 : 68), berpendapat bahwa “Ada hubungan yang positif antara motif berprestasi dengan pencapaian kerja”. Motif berprestasi adalah suatu dorongan dalam diri seseorang untuk melakukan suatu kegiatan atau tugas dengan sebaik baiknya agar mampu mencapai prestasi kerja (kinerja) dengan predikat terpuji. Selanjutnya Mc. Clelland, mengemukakan 6 karakteristik dari seseorang yang memiliki motif yang tinggi yaitu :
1) Memiliki tanggung jawab yang tinggi
2) Berani mengambil risiko
3) Memiliki tujuan yang realistis
4) Memiliki rencana kerja yang menyeluruh dan berjuang untuk merealisasi tujuan
5) Memanfaatkan umpan balik yang kongkrit dalam seluruh kegiatan kerja yang dilakukan
6) Mencari kesempatan untuk merealisasikan rencana yang telah diprogamkan

Menurut Gibson (1987) ada 3 faktor yang berpengaruh terhadap kinerja :
1) Faktor individu : kemampuan, ketrampilan, latar belakang keluarga, pengalaman kerja, tingkat sosial dan demografi seseorang
2) Faktor psikologis : persepsi, peran, sikap, kepribadian, motivasi dan kepuasan kerja
3) Faktor organisasi : struktur organisasi, desain pekerjaan, kepemimpinan, sistem penghargaan (reward system).

Menurut Kopelman (1988), faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja adalah:
·        individual characteristics (karakteristik individual)
·        organizational charasteristic (karakteristik organisasi)
·        dan work characteristics (karakteristik kerja)
Lebih lanjut oleh Kopelman dijelaskan bahwa kinerja selain dipengaruhi oleh faktor lingkungan juga sangat tergantung dari karakteristik individu seperti kemampuan, pengetahuan, keterampilan, motivasi, norma dan nilai.
Dalam kaitannya dengan konsep kinerja, terlihat bahwa karakteristik individu seperti kepribadian, umur dan jenis kelamin, tingkat pendidikan suku bangsa, keadaan sosial ekonomi, pengalaman terhadap keadaan yang lalu, akan menentukan perilaku kerja dan produktivitas kerja, baik individu maupun organisasi sehingga hal tersebut akan menimbulkan kepuasan bagi pelanggan atau pasien. Karakteristik individu selain dipengaruhi oleh lingkungan, juga dipengaruhi oleh: (1) karakteristik orgnisasi seperti reward system, seleksi dan pelatihan, struktur organisasi, visi dan misi organisasi serta kepemimpinan; (2) karakteristik pekerjaan, seperti deskripsi pekerjaan, desain pekerjaan dan jadwal kerja.



Budaya Organisasi berpengaruh terhadap Motivasi dan Kinerja

Budaya organisasi sebagai faktor yang penting bagi suatu organisasi atau perusahaan dalam menggerakan roda usaha atau kegiatannya, juga menentukan arah dalam pencapaian tujuan. Sebagai falsafah, ideologi, nilai-nilai, anggapan, keyakinan, harapan, sikap dan norma-norma yang dimiliki secara bersama serta mengikat dalam suatu komunitas tertentu, secara spesifik ditentukan oleh kondisi team work, leaders dan characteristic of organization serta administration process yang berlaku. Budaya yang produktif adalah budaya yang dapat menjadikan organisasi menjadi kuat dan tujuan perusahaan dapat terakomodasi. Budaya organisasi yang produktif akan menjadi dorongan kolektif yang kuat selain kompensasi, yaitu motivasi dan harapan atau Expectancy.
Secara teori dapat diasumsikan secara positif dan konstruktif bahwa apabila suatu hal yang positif didorong maka akan berdampak secara efek domino dan efek bola salju, dimana hal positif tadi akan menghasilkan hal positif lain baik itu sebagai tujuan akhir maupun efek samping dari suatu tindakan. Budaya organisasi yang produktif diasumsikan akan menjadi dorongan atau motivasi positif bagi individu-individu didalam organisasi dalam menjalankan fungsinya secara maksimal sehingga tercapai kinerja (prestasi kerja) yang positif sesuai dengan tujuan organisasi. Thesis ini dapat ditemukan dari berbagai literatur manajemen organisasi dan sumber daya manusia, jurnal-jurnal penelitian, dan aplikasi manajemen saat ini.






Referensi:


Luthans, Fred, 1992, Organizational Behavior, Sixth Edition, Singapore: McGraw Hill Book Co.
Mangkunegara, AA Anwar Prabu, 2001, Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung PT.Remaja Rosdakarya.
Koesmono, H. Teman. 2005. Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Motivasi Dan Kepuasan Kerja Serta Kinerja Karyawan Pada Sub Sektor Industri Pengolahan Kayu Skala Menengah Di Jawa Timur. Surabaya (ID) : Jurnal Ekonomi Manajemen Universitas Petra.
Laswitarni, Ni Ketut. (2008). Budaya Organisasi, Kepuasan Kerja, Motivasi dan Kinerja Karyawan (Suatu Studi di PT. Delta Satria Dewata Denpasar). Bali (ID): STIMI Handayani Denpasar
Porwani, Sri. (2010). Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja Karyawan Studi Kasus PT. Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) Tanjung Enim. Palembang (ID): Politeknik Darusalam
Octaviana, Nur. (2011). Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Motivasi dan Kepuasan Kerja serta Kinerja (Pada PT. Mirota Kampus di Yogyakarta). Yogyakarta (ID): Universitas Pembangunan Nasional
Teori Motivasi. Dikutip dari : http://en.wikipedia.org/wiki/Motivation_theory
Teori Harapan. Dikutip dari : http://en.wikipedia.org/wiki/Expectancy_theory
Teori Kinerja. Dikutp dari : http://id.wikipedia.org/wiki/Kinerja

No comments:

Post a Comment